Akhir-akhir ini negara ini diramaikan dengan wacana pembangunan
PLTN untuk menyuplai kebutuhan energi dalam negeri. Namun, banyak publik tanah
air yang masih ‘meragukan’ kemampuan Indonesia dalam menghadapi potensi
keamanan yang timbul jika terjadi ‘kecelakaan’ dengan PLTN tersebut, semisal
kebocoran reaktor.
Nah, ada sebuah tulisan menarik tentang bahan bakar
alternatif dari pembangkit nuklir selain Uranium dan Plutonium, yaitu Thorium.
Bahan yang satu ini dikatakan lebih aman dibanding Uranium dan Plutonium.
Jumlahnya pun lebih banyak di alam, diperkirakan bisa 3 hingga 4x lipat
dibanding dengan Uranium. Selain itu, Thorium hanya memiliki 1 isotop sehingga
tidak perlu pengayaan untuk memisahkan isotop yang tepat untuk proses fisi.
Lantas, mengapa hingga kini Thorium tidak digunakan sebagai pengganti Uranium? ,Berikut
ini ulasannya.
Menurut beberapa sumber, Nuklir (Nuclear) sebenarnya merujuk
kepada Nucleus, yaitu sebuah inti atom. Di dalam reaktor nuklir, inti atom ini
dibelah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, proses pembelahan ini disebut
fisi. Pembelahan tersebut menghasilkan dua hal yaitu energi panas dan pelepasan
neutron. Energi panas tersebut yang digunakan untuk mendidihkan air untuk
menggerakkan turbin dan menghasilkan listrik. Namun, inti atom yang ‘dibelah’
tersebut haruslah dari elemen alam yang relatif stabil seperti isotop yang
didapat dari pengayaan Uranium atau Plutonium.
Sedangkan Neutron yang terlepas dalam proses fisi tadi
kemudian akan membelah atom lagi secara mandiri, proses tersebut terjadi
berulang-ulang dan terus menerus sehingga disebut reaksi berantai. Reaksi
berantai inilah yang menimbulkan ledakan besar yang kemudian digunakan sebagai
senjata.
Di dalam reaktor nuklir, reaksi berantai ini ‘dikendalikan’
sesuai kebutuhan sehingga tidak terjadi ledakan. Ada elemen dalam reaktor yang
fungsinya menyerap neutron, sehingga inti atom tidak terus-menerus ‘ditembak’
oleh neutron.
Thorium
Seperti Uranium dan Plutonium, Thorium ini juga cocok
dijadikan bahan bakar nuklir. Isotop yang didapat di dalam Thorium dapat
digunakan untuk proses fisi. Namun, proses fisi yang terjadi tidak menghasilkan
neutron yang cukup untuk membelah inti atom secara mandiri. Neutron harus
selalu disediakan secara terus menerus dari luar untuk menembak dan membelah
inti atom, dengan kata lain jika menggunakan Thorium maka tidak akan timbul
reaksi berantai. Inilah mengapa Thorium disebut lebih aman dibanding Uranium
dan Plutonium.
Lalu mengapa tidak digunakan? ,Ternyata, kelebihan dari
Thorium ini pula yang menjadi kekurangannya. Dengan tidak terjadinya reaksi
berantai dari proses fisi, maka bahan ini tidak dapat digunakan untuk membuat
senjata nuklir. Itulah alasan utama negara-negara besar pemilik teknologi
nuklir tidak menggunakan Thorium sebagai bahan bakarnya (tentu saja tidak ada
statement resmi dari negara-negara pengguna nuklir tentang hal ini, tapi saya
termasuk yang setuju terhadap teori ini).
Padahal, Thorium menghasilkan produk-produk limbah yang jauh
lebih sedikit dibanding Uranium atau Plutonium walau masih tetap radioaktif dan
berbahaya. Thorium juga memberi jumlah energi yang lebih besar dibanding
Uranium.
Menurut Carlo Rubbia dari CERN (sebuah organisasi riset
nuklir dari Eropa) mengatakan, “Dua ratus ton uranium dapat memberikan jumlah
energi yang sama bisa Anda dapatkan dari satu ton thorium,” ujarnya seperti
dikutip dari BBC.
Jadi sebenarnya, jika ingin lebih aman Indonesia bisa
menggunakan Thorium sebagai bahan bakar PLTN dalam negeri, namun masalahnya,
teknologi yang ditransfer dari Rusia dan negara-negara barat semuanya
menggunakan Uranium/Plutonium, sehingga Indonesia harus mengembangkan sendiri
teknologi PLTN yang menggunakan Thorium. Tentu saja, tantangannya kemudian
adalah sumber daya manusia dan yang pasti, D.A.N.A!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar