Tan Malaka merupakan salah satu tokoh revolusi kiri yang
namanya hingga kini masih terus berkibar, paling tidak di Eropa. Sehingga tak
heran jika Harry Poeze, peneliti senior sekaligus Direktur KITLV Belanda,
menulis disertasi mengenai Tan Malaka pada tahun 1976 yang kemudian
diterjemahkan ke bahasa Indonesia dalam dua jilid. Poeze kemudian melanjutkan
buku kisah perjalanan hidup Tan Malaka ini sampai akhir hayatnya pada 1949,
yang dalam buku tersebut diungkap mengenai lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur
dan siapa yang menembaknya.
Penelusuran Poeze ternyata tidak hanya berhenti disitu, pada
8 Juni 2007 lalu, di Universitas Leide Belanda, Poeze meluncurkan buku yang
berjudul ‘Verguisd en Vergeten, Tan Malaka; De linkse Beweging en
Indonesische Revolutien 1945-1959’. Buku setebal 2194 halaman ini di jual
seharga 99,90 euro di Eropa, dan cukup mendapat apresiasi dari halayak pembaca.
Pejuang antikolonialisme
Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka lahir di Pandan Gadang,
Suliki, Sumatera Barat, tahun 1896. Ia menempuh pendidikan Kweekschool di
Bukittinggi sebelum melanjutkan pendidikan ke Belanda. Pulang ke Indonesia
tahun 1919 ia bekerja di perkebunan Tanjung Morawa, Deli.
Penindasan terhadap buruh menyebabkan ia berhenti dan pindah
ke Jawa tahun 1921. Ia mendirikan sekolah di Semarang dan kemudian di Bandung.
Aktivitasnya menyebabkan ia diasingkan ke negeri Belanda. Ia malah pergi ke
Moskwa dan bergerak sebagai agen komunis internasional (Komintern) untuk
wilayah Asia Timur. Namun, ia berselisih paham karena tidak setuju dengan sikap
Komintern yang menentang pan-Islamisme.
Ia berjuang menentang kolonialisme "tanpa henti selama
30 tahun" dari Pandan Gadang (Suliki), Bukittinggi, Batavia, Semarang,
Yogya, Bandung, Kediri, Surabaya, sampai Amsterdam, Berlin, Moskwa, Amoy,
Shanghai, Kanton, Manila, Saigon, Bangkok, Hongkong, Singapura, Rangon, dan
Penang. Ia sesungguhnya pejuang Asia sekaliber Jose Rizal (Filipina) dan Ho Chi
Minh ( Vietnam).
Ia tidak setuju dengan rencana pemberontakan PKI yang
kemudian meletus tahun 1926/1927 sebagaimana ditulisnya dalam buku Naar de
Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia, Kanton, April 1925 dan dicetak
ulang di Tokyo, Desember 1925). Perpecahan dengan Komintern mendorong Tan
Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok, Juni 1927.
Walaupun bukan partai massa, organisasi ini dapat bertahan
sepuluh tahun; pada saat yang sama partai-partai nasionalis di Tanah Air lahir
dan mati.
Perjuangan Tan Malaka yang bersifat lintas bangsa dan lintas
benua telah diuraikan secara rinci dalam dua jilid biografi yang ditulis Poeze.
Setelah Indonesia merdeka, perjuangan Tan Malaka mengalami pasang naik dan
pasang surut. Ia memperoleh testamen dari Bung Karno untuk menggantikan apabila
yang bersangkutan tidak dapat menjalankan tugasnya.
Namun, tahun 1948, Tan Malaka dikenal sebagai penentang
diplomasi dengan Belanda yang dilakukan dalam posisi merugikan Indonesia. Ia
memimpin Persatuan Perjuangan yang menghimpun 141 partai/organisasi masyarakat
dan laskar, menuntut agar perundingan baru dilakukan jika Belanda mengakui
kemerdekaan Indonesia seratus persen.
Tahun 1949 Tan Malaka ditembak. Tanggal 28 Maret 1963
Presiden Soekarno mengangkat Tan Malaka sebagai pahlawan nasional. Namun, sejak
era Orde Baru, namanya dihapus dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di
sekolah walau gelar pahlawan nasional itu tidak pernah dicabut. Adalah
kebodohan rezim Orde Baru menganggap Tan Malaka sebagai tokoh partai yang
dituduh terlibat pemberontakan beberapa kali. Tan Malaka justru menolak
pemberontakan PKI tahun 1926/1927. Ia sama sekali tidak terlibat dalam
peristiwa Madiun 1948. Bahkan, partai yang didirikan tanggal 7 November 1948,
Murba, dalam berbagai peristiwa berseberangan dengan PKI.
Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di
Jawa Timur berdasarkan serangkaian wawancara yang dilakukan pada periode 1986
sampai dengan 2005 dengan para pelaku sejarah yang berada bersama-sama dengan
Tan Malaka tahun 1949. Dengan dukungan dari keluarga dan lembaga pendukung Tan
Malaka, sedang dijajaki kerja sama dengan Departemen Sosial Republik Indonesia
untuk memindahkan kuburannya ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Tentu untuk ini perlu tes DNA, misalnya. Tetapi, Depsos dan
Pemerintah Provinsi Jatim harus segera melakukannya sebelum masyarakat setempat
secara sporadis menggali dan mungkin menemukan tulang belulang kambing yang
bisa diklaim sebagai kerangka jenazah sang pahlawan nasional.
Temuan baru
Banyak penemuan baru yang terdapat dalam buku Tan Malaka
yang terakhir ini. Sejarah revolusi Indonesia tahun 1945-1949 seperti diguncang
untuk ditinjau ulang. Peristiwa Madiun 1948 dibahas sebanyak 300 halaman. Poeze
menggunakan arsip Komintern yang terdapat di Moskwa.
Ia juga menemukan arsip menarik tentang Soeharto. Selama ini
sudah diketahui bahwa Soeharto datang ke Madiun sebelum meletus pemberontakan.
Soemarsono berpesan kepadanya bahwa kota itu aman dan agar pesan itu
disampaikan kepada pemerintah. Poeze menemukan sebuah arsip menarik di Arsip
Nasional RI bahwa Soeharto pernah menulis kepada "Paduka Tuan"
Kolonel Djokosoejono, komandan tentara kiri, agar beliau datang ke Yogya dan
menyelesaikan persoalan ini. Soeharto menulis "saya menjamin keselamatan
Pak Djoko". Dokumen ini menarik karena ternyata Soeharto mengambil
inisiatif sendiri sebagai penengah dalam peristiwa Madiun.
Dalam kondisi ini, Tan Malaka mungkin lebih cocok disebut
sebagai pahlawan yang terlupakan. Mengapa demikian, karena Ia berpuluh-puluh
tahun telah berjuang bersama rakyat, namun kemudian dibunuh dan dikuburkan
disamping markas militer di sebuah desa di Kediri pada 1949, tanpa banyak yang
tahu. Padahal ia lebih dari tiga dekade merealisasikan gagasannya dalam kancah
perjuangan Indonesia. Ini dapat dilihat dari ketika Tan Malaka pertama kali
menginjakkan kaki di tanah Jawa, yakni dengan mendirikan Sekolah Rakyat di
Semarang. Padahal Tan Malaka ketika sedang dalam pengejaran Intelijen Belanda,
Inggris dan Amerika.
Menurutnya, pendidikan rakyat jelas merupakan cara terbaik
membebaskan rakyat dari kebodohan dan keterbelakangan untuk membebaskan diri
dari kolonialisme. Tan Malaka dan gagasannya tidak hanya menjadi penggerak
rakyat Indonesia, tetapi juga membuka mata rakyat Philipina dan semenanjung
Malaya atau bahkan dunia.
Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di
Jawa Timur. Lokasi tempat Tan Malaka disergap dan kemudian ditembak adalah
Dusun Tunggul, Desa Selopanggung, di kaki Gunung Wilis. Penembakan itu
dilakukan oleh Suradi Tekebek atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalyon
Sikatan, Divisi Brawijaya. Pada masa selanjutnya, Soekotjo pernah menjadi Wali
Kota Surabaya dan terakhir berpangkat brigjen, meninggal tahun 1980-an.
Dalam penelitiannya Poeze juga memanfaatkan foto-foto
sejarah. Rapat raksasa di lapangan Ikada (sekarang lapangan Monas) Jakarta, 19
September 1945, yang dihadiri 15.000 orang dari seputar Jakarta merupakan momen
historis penting. Walau Indonesia sudah merdeka, peralihan kekuasaan belum terlaksana.
Tentara Jepang masih memegang senjata dan mengancam jika rakyat mengadakan
rapat lebih dari lima orang. Rapat raksasa di lapangan Ikada itu dirancang
pemuda untuk memperlihatkan dukungan rakyat kepada proklamasi. Soekarno ragu
untuk menghadiri rapat tersebut karena khawatir tentara Jepang melakukan
penembakan massal terhadap penduduk. Rapat itu akhirnya berlangsung dan
Soekarno berpidato beberapa menit.
Poeze sempat memeriksa foto-foto tentang peristiwa itu. Ia
menemukan seseorang yang memakai helm di dekat Bung Karno ketika berpidato.
Bahkan, pada salah satu foto, Soekarno dan orang itu berjalan berdampingan.
Setelah membandingkan berbagai foto itu, berkesimpulan bahwa lelaki berhelm itu
adalah Tan Malaka. Lelaki itu lebih pendek dari Soekarno dan ukurannya di foto
ternyata cocok karena tinggi Soekarno adalah 1,72 meter dan Tan Malaka 1,65
meter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar