Masa Kelam ini diawali dengan adanya Krisis Moneter yang
terjadi di dunia tak terkecuali di Indonesia, keadaan itu membuat seluruh
kegiatan Ekonomi terpukul hebat, salah satunya pada PT.Dirgantara Indonesia.
Ketika pada 4 September 2007 Pengadilan Niaga Jakarta Pusat,
dengan majelis hakim yang dipimpin Andriani Nurdin, dalam sidang kurang dari
satu jam, menjatuhkan keputusan pailit atas PT Dirgantara Indonesia (PT. DI),
secara kasat mata, PT. DI merupakan BUMN pertama yang mengalami kepailitan. Hal
tersebut terjadi karena pihak PT. DI tidak melunasi kewajibannya untuk membayar
tunai kewajiban perusahaan karyawan sebesar Rp. 40 miliar dan hak pensiun
karyawan sebesar Rp. 200 miliar.
Permasalahan muncul ketika direksi PT. DI mengeluarkan
kebijakan untuk merumahkan (lock out) seluruh karyawan tanpa melaporkan
persoalan tersebut kepada komisaris dan pemegang saham pada 11 Juli 2003. Dan
pada 15 Juli 2003 Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi menerbitkan surat No.
644.KP.02.33.2003 yang menyatakan bahwa proses lock out tak sesuai prosedur dan
melanggar UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Di lain pihak, karyawan produsen pesawat CN 235 ini mengaku
kebingungan dan mengeluhkan keputusan direksi merumahkan sekitar 9.000 pegawai
tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu. Sementara itu di sisi lain, Manajer
Repair dan Maintenance PT. DI Joko Widado mengaku telah mendengar kabar
pemutusan kerja sementara para karyawan sejak jauh hari. Namun, dia tak
menyangka bila keputusan tersebut begitu cepat dikeluarkan.
Melihat adanya miskomunikasi dalam proses directing pada PT.
DI antara pihak direksi dengan pihak manajemen dan juga kepada pihak karyawan,
penulis menganggap hal tersebut menarik untuk dikaji lebih mendalam. Dan
penulisan jurnal ini memiliki tujuan untuk mengetahui bagaimana terjadinya
konflik dalam organisasi yang terjadi pada PT. Dirgantara Indonesia.
Analisis
Sumber konflik yang terjadi dalam sebuah organisasi dapat
berasal dari sumber yang bersifat substantif, yaitu pertentangan yang terjadi
dikarenakan ketidakpuasan terhadap kebijakan, praktek manajerial, dan
pertentangan peran dan tanggung jawab(Umstot : 1984).
Dalam konflik yang terjadi pada PT. Dirgantara Indonesia,
yang menjadi sumber konflik adalah pertentangan antara pihak direksi PT. DI
dengan karyawan dimana pihak direksi mengeluarkan kebijakan sepihak untuk
merumahkan seluruh karyawan. Sementara pada pihak karyawan membutuhkan lapangan
pekerjaan untuk terus melanjutkan hidupnya.
Berikut serangkaian aktivitas tahapan terjadinya konflik
(conflict episode) yang terjadi pada PT. Dirgantara Indonesia :
Latent Conflict : kas PT. Dirantara Indonesia mengalami
kekosongan, bahkan minus.
Perceived Conflict : pihak manajemen mendengar kabar
pemutusan kerja sementara para karyawan.
Felt Conflict : 11/07/2003, pihak direksi PT. DI memutuskan
untuk merumahkan seluruh karyawan.
Manifest Conflict : ribuan mantan karyawan menggelar demo di
Bandung beberapa hari setelah turun keputusan dari pihak direksi. 09/07/2007,
Kewajiban PT. DI tidak dipenuhi, mantan karyawan menggugat pailit ke PN Jakarta
Pusat.
Conflict Aftermath : karyawan PT. DI tetap bekerja seperti
biasa setelah PT. DI mendapat kontrak order dari luar negeri.
Kesimpulan
Konflik yang terjadi pada PT Dirgantara Indonesia antara
pihak direksi dengan pihak karyawan bersumber dari pertentangan karena
ketidakpuasan karyawan atas kebijakan yang diambil sepihak oleh direksi PT. DI.
Konflik pada PT. DI berhasil diselesaikan karena adanya
kontrak order antara PT. DI dengan luar negeri, di mana PT. DI jelas
membutuhkan karyawan untuk melaksanakan order yang diterima dari luar negeri
tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar